JEMBER – Prof. Erlia Narulita, S.Pd., M.Si., Ph.D Guru Besar Bioteknologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jember (Unej). Guru Besar pertama bidang Bioteknologi Unej ini akan menyampaikan orasi ilmiah tentang rekayasa bakteriofag kesehatan, untuk mengatasi resistensi antibiotik khususnya di Indonesia, Senin 29 Januari 2024.
Dosen FKIP Unej asli kelahiran Jember 5 Juli 1980 ini mendapatkan gelar akademik tertinggi Guru Besar setelah mengadi cukup lama. Sejak 2006, Prof Erlia, sapaan karibnya mengajar di Program Studi Biologi FKIP Unej.
Sebelumnya, pendidikan formal Prof Erlia juga terpusat di Kabupaten Jember. Mulai dari SDN Jember Lor V, SMP Negeri 2 Jember, SMU Negeri 1 Jember hingga S1 di Prodi Biologi FKIP UNej. Baru kemudian melanjutkan S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan S3 di Hiroshima University Jepang. Saat kuliah S2 dan S3, Prof Erlia menekuni bidang bioteknologi.
Selain ngajar, Prof Erlia juga dipercaya Sekretaris Gugus Penjamin Mutu FKIP Unej sampai tahun 2020. Kemudian dipercaya menjadi koordinator Program Studi Prodi Pendidikan Biologi -Universitas Jember dan dan Ketua Komisi Bimbingan S3 Bioteknologi Unej. Prof Erlia dikenal disiplin dan giat bekerja.
Nah, dalam pengukuhan guru besar bersama tujuh professor lain di Unej, Prof Erlia akan menyampaikan orasi ilmiah tentang harapan dan tantangan rekayasa bakteriofag kesehatan, untuk mengatasi resistensi antibiotik khususnya di Indonesia.” Perkembangan penelitian terkait bakteriofag di Indonesia memang belum popular dan masih sangat terbatas, namun menunjukkan potensi yang menjanjikan,” tutur Prof Erlia.
Menurut Prof Erlia, bakteriofag memiliki aplikasi luas terhadap berbagai masalah penting kesehatan, termasuk salah satunya solusi yang menjanjikan dalam mengobati infeksi bakteri pathogen pada manusia. Penggunaan bakteriofag untuk terapi infeksi bakteri, apalagi dengan rekayasa genom masih memerlukan penelitian panjang dan berbagai uji.
Bakteriofag pernah menjadi alternatif penyembuhan infeksi bakteri patogen pada masa Perang Dunia II. Namun, bakteriofag mulai ditinggalkan karena adanya penemuan antibiotik yang cenderung satu antibiotik menyelesaikan banyak infeksi bakteri pada saat itu. Seiring berkembangnya jaman, kasus resistensi antibiotik semakin meningkat.
Pada tahun 2019, kematian global yang terkait dengan resistensi antibiotik diperkirakan hampir mencapai 5 juta, melebihi kematian akibat HIV/AIDS dan malaria. WHO melaporkan resistensi antibiotik akan menyebabkan 10 juta kematian per tahun pada 2050 nanti. “Fenomena ini mendorong para ilmuwan mancari zat antimikroba alternatif dan bakteriofag kembali menjadi salah satu entitas yang menunjukkan potensi besar,” ungkapnya.
Apalagi di Indonesia, teknologi ini memang masih belum populer. Dibutuhkan keterbukaan terhadap inovasi baru selain antibiotik, serta kolaborasi sinergis antara peneliti bakteriofag dan praktisi kesehatan untuk menanggulangi masalah resistensi antibiotik di Indonesia. “Saya berharap bakteriofag, dengan penerapan rekayasa genom, dapat menjadi “senjata” perang ampuh melawan resistensi antibiotic di Indonesia,” pungkasnya. (*)