Dewan Pers

SWI Kabupaten Jember Dukung Sikap Dewan Pers dan Praktisi Jurnalistik yang Menolak Pembahasan Revisi UU Penyiaran

×

SWI Kabupaten Jember Dukung Sikap Dewan Pers dan Praktisi Jurnalistik yang Menolak Pembahasan Revisi UU Penyiaran

Sebarkan artikel ini

 

banner 325x300

JEMBER, transparansi.co.id– Sekber Wartawan Indonesia (SWI) Kabupaten Jember, mendukung sikap Dewan Pers dan Kalangan Praktisi Jurnalistik yang menolak kelanjutan pembahasan draf Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.

Melalui siaran pers-nya, Ketua DPD SWI Jember, Suyono, menyatakan bahwa sikap yang diambil SWI Jember, mendasarkan pada pernyataan Kepala Divisi Humas DPP SWI, Gunawan yang menegaskan bahwa pembahasan revisi UU Penyiaran usulan inisiatif dewan tersebut, perlu dikritisi.

Pasalnya, menurut Gunawan, ada beberapa pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang tengah dibahas anggota DPR RI saat ini, masuk dalam kategori krusial yang menimbulkan kontroversi dan berpotensi mengekang Kebebasan Pers.

“Mari kita waspadai usul inisiatif DPR RI yang akan merevisi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,” jelas Gunawan.

Salah satunya, kata Gunawan, yakni menyangkut Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran yang dianggap bertentangan dengan semangat  UU No.40 Tahun 1999, tentang Pers. 

Karena dalam pasal tersebut berisi larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Padahal selama ini banyak program acara di media televisi, terkait dengan hasil pendalaman melalui reportase investigasi.

Program yang sama, semakin massif setelah ditayangkan melalui berbagai platform media digital, baik yang dikemas melalui acara dialog maupun berupa tayangan video berita.

  

Pasal ini, tampaknya sebagai reaksi “Penguasa” untuk membatasi aktivitas jurnalisme yang dikembangkan para jurnalis media, melalui siaran podcast dengan memanfaatkan media baru (new media), melalui platform media sosial.

Gunawan berpendapat bahwa jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik, karena itu apabila pemerintah melarang aktivitas jurnalisme investigasi itu sama artinya dengan upaya merendahkan kualitas jurnalistik.

Pasal lain yang juga dianggap krusial, yakni terkait upaya pemerintah memberi kewenangan KPI untuk menyelesaikan sengketa penyiaran. Mengingat selama ini sengketa penyiaran dilakukan Dewan Pers.

 

“Ini tidak lagi melalui mekanisme UU Pers, karena dalam Pasal 42 RUU Penyiaran, secara tegas menghapus peran Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa penyiaran, dan itu akan diberikan kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia),” tegasnya.

Dewan Pers Tolak Draf RUU Penyiaran

Sementara, Dewan Pers dan hampir seluruh komunitas pers dengan tegas menolak isi draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang merupakan usul inisiatif anggota Dewan, untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/05/2024).

Hal senada juga disampaikan oleh sejumlah organisasi profesi wartawan, seperti Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan sejumlah praktisi jurnalistik lainnya.

“Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers,” kata Ketua AMSI,  Wahyu Dyatmika.

Menurut Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, bila RUU itu nanti diberlakukan, maka tidak akan ada independensi pers. Pers pun menjadi tidak profesional. Dia juga mengritik penyusunan RUU tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya.

Terkait dengan pasal yang melarang penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran, menurut Ninik Rahayu, itu jelas bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. 

Dampak lainnya, kata Ninik, larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. 

Anggota Dewan Pers lainnya, Yadi Hendriana, menyatakan bahwa upaya “Pemerintah” untuk menggembosi  kemerdekaan pers, sudah beberapa kali terjadi, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif. “Tidak ada kata lain, harus dilawan!,” tegasnya. 

(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *