BPJS Kesehatan

Dewas BPJS Kesehatan Siruaya Utamawan Pimpin Serap Aspirasi JKN di Lampung, 4 Isu Strategis Program JKN Jadi Sorotan

×

Dewas BPJS Kesehatan Siruaya Utamawan Pimpin Serap Aspirasi JKN di Lampung, 4 Isu Strategis Program JKN Jadi Sorotan

Sebarkan artikel ini

Foto: Dewas Siruaya Utamawan dalam forum “Serap Aspirasi Stakeholders atas Dinamika Kebijakan Program JKN” yang digelar di Bandar Lampung, Kamis (22/10/2025). (Dok: Siruaya utamawan untuk transparansi)

Bandar Lampung, transparansi.co.id  – Empat isu strategis dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi topik pembahasan hangat dalam forum “Serap Aspirasi Stakeholders atas Dinamika Kebijakan Program JKN” yang digelar di Bandar Lampung, Kamis (22/10/2025).

Isu tersebut meliputi kesiapan implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), sistem rujukan berbasis kompetensi, implementasi Rekam Medis Elektronik (RME) untuk klaim, dan rencana perubahan tarif INA-CBGs menjadi iDRG.

Acara yang diinisiasi oleh Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Kesehatan ini dihadiri langsung oleh Anggota Dewas Siruaya Utamawan, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nikodemus Purba, Deputi Direksi Wilayah III BPJS Kesehatan Yudi Bastia, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Bandar Lampung Yessy Rahimi, dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dr. Edwin Rusli.

Hadir sebagai peserta, para pimpinan dan perwakilan rumah sakit mitra BPJS Kesehatan, serta perwakilan asosiasi perumahsakitan dan organisasi profesi seperti PERSI, ARSSI, IDI, dan PDGI Provinsi Lampung.

*Menampung “Keluh Kesah” untuk Kebijakan* Anggota Dewas BPJS Kesehatan, Siruaya Utamawan, membuka dialog dengan menyatakan forum ini dilaksanakan serentak di beberapa wilayah untuk mendapatkan asupan dan masukan baru atas empat isu strategis tersebut.

“Kami harap gunakan kesempatan ini, sampaikan saja keluh kesah, tanpa perlu ragu. Di sini ada Pak Niko (DJSN) yang akan memberi rekomendasi kepada Presiden terkait penyusunan kebijakan,” ujar Siruaya.

Siruaya mengakui adanya beberapa resistensi terkait KRIS, seperti potensi penurunan jumlah tempat tidur (TT) dan penolakan peserta atas konsep kelas tunggal. Ia juga menyoroti RME sebagai keniscayaan digitalisasi, di mana Lampung sudah 100% bridging RS, meski di daerah lain masih menjadi masalah.

Nikodemus Purba dari DJSN menambahkan bahwa pihaknya saat ini tengah mengusulkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Jaminan Kesehatan baru, sehingga aspirasi dari regional sangat diperlukan.

*Tantangan Implementasi KRIS: Kesiapan RS, Kenyamanan Peserta, dan Mutu Layanan* Implementasi KRIS menjadi sorotan utama. Ketua PERSI Lampung, dr. Arief Yulizar menyatakan RS pada prinsipnya siap menjalankan standar tersebut. Namun, kendala utamanya diprediksi datang dari peserta. Peserta yang selama ini berada di Kelas 1, yang terbiasa dengan kamar berisi dua tempat tidur (TT), kini harus menerima standar baru KRIS, yaitu satu ruangan diisi maksimal empat tempat tidur. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan penolakan karena dianggap sebagai penurunan kenyamanan.

Kesiapan RS pun dipertanyakan. Direktur RS Airan Raya dr. Zuchrady mengusulkan agar KRIS ditinjau kembali, dengan opsi tetap ada perbedaan kelas namun 12 indikator standar wajib terpenuhi. “Biaya renovasi pemenuhan 12 indikator itu cukup tinggi. Sementara 80-95% pasien di RS swasta adalah JKN,” ujarnya.

Kekhawatiran juga datang dari perwakilan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Hefrianto, yang takut mutu layanan akan turun. “Jangan sampai regulasi membebani kami (pekerja) sementara upah masih rendah. Takut mutu layanannya jadi turun,” katanya.

*Tantangan Implementasi Rujukan Berbasis Kompetensi*
Isu rujukan berbasis kompetensi dikhawatirkan akan mencederai sistem managed care BPJS Kesehatan. dr. Arief Yulizar menyoroti, jika rujukan berjenjang dihapus, pasien akan menumpuk di RS dengan kompetensi ‘Paripurna’, sementara RS ‘Dasar’ akan kosong pasien.

“Kriteria untuk naik ke Madya sangat sulit, termasuk CT Scan harus 64 slice. RSUD bisa mengajukan ke negara, swasta sangat sulit. Harapannya kriteria jangan terlalu berat,” ungkapnya.

Hal ini diperkuat oleh Dinkes Provinsi Lampung yang menyebut SDM dokter spesialis belum merata, masih terpusat di Bandar Lampung dan sangat kurang di kabupaten seperti Krui.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *