JEMBER – Prof. Drs. Abubakar Eby Hara, M.A., Ph.D merupakan satu-satunya Guru Besar Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember (Unej). Prof Eby Hara, sapaan karibnya, bersama tujuh guru besar dari berbagai disiplin ilmu dikukuhkan Senin, 29 Januari 2024 di Auditorium Unej.
Untuk lebih dekat dengan kepakarannya dalam hubungan internasional Prof Eby Hara, bisa dicermati dari orasi ilmiah yang disampaikan dalam pengukuhan guru besarnya yang berjudul Kontribusi Global South Terhadap Teori & Praksis Hubungan Internasional. Termasuk pembahasannya tentang konflik Timur Tengah, khususnya pendudukan dan penindasan Israel terhadap Palestina selama lebih dari 75 tahun.
“Kita menyaksikan perang tanpa kunjung selesai di Timur Tengah. Dilanjutkan serangan AS kepada Houti di Yaman. Serangan Israel terhadap Hisbullah di Lebanon. Perang di Timur Tengah tak kunjung selesai. Belum usai perang Rusia dan Ukraine, kita menyaksikan nasib bangsa Palestina terabaikan. Bagaimana menjelaskan kekerasan dan siklus perang ini?,” tutur Prof Eby Hara mengawali orasi ilmiahnya.
Dia menjelaskan bahwa sebab yang umum adalah adanya kepentingan keamanan survival negara, kepentingan mengamankan jalur ekonomi, kepentingan global mempertahankan supremasi. Untuk menjamin keamanan ini, maka perlu kekuatan militer yang kuat sehingga negara lain menjadi takut.
Dia menyebut, pengalaman empirik ini lah kemudian diteorikan dalam teori yang dikenal dengan realisme. Dunia digambarkan sebagai anarkis, tidak ada yang mengatur. “Kalau mau damai bersiaplah untuk perang. Pengalaman itu bahkan dirujuk jauh ke belakang pada perang Athena dan Milea di zaman Yunani Kuno,” imbuhnya.
Adagium dalam Perang Peloponnesian berbunyi: “the strong do what they can and the weak suffer what they must” (Thucydides, 2003) yang dikutif sampai dengan sekarang. “Harus diakui bahwa ini lah teori yang dominan. Para mahasiswa HI diperkenalkan sejak awal dengan teori-teori ini,” ungkapnya.
Prof Eby Hara kemudian memberikan penjelasan secara teoritik dan menyampaikan kritiknya. “Namun sebenarnya pengalaman hubungan demikian hanya satu saja dari pengalaman HI yang kompleks. Tidak adakah hubungan yang lebih damai? Di bagian dunia lain banyak pengalamannya yang berbeda baik kini maupun masa lampau. Di Global South (Dunia Selatan) ada wilayah damai.
Namun mengapa pengalaman ini tidak diutamakan bahkan diabaikan, ungkapnya adalah karena Euresentrisme dan Amerikansentrisme yang mendominasi studi HI. Dominasi ini mengabaikan pengalaman HI lain dan artinya menutup lahirnya teori yang dapat dikembangkan dari situ.
Selanjutnya Prof Eby Hara menjelaskan bahwa pengalaman HI yang berbeda itu antara lain dikembangkan oleh negara-negara Non-Blok. Ini adalah kontribusi Global South yang penting pada HI. Negara-negara non-blok ini tidak mengadopsi prinsip realisme, tetapi mencoba mengembangkan hubungan saling menghormati, tidak campur tangan urusan negara lain dan menolak aliansi militer. KAA Bandung 1955 yang menjadi titik awal Gerakan non-blok menjadi fondasi normative penting dalam HI. Ia menjadi alternatif bagi HI yang berdasarkan prinsip realisme.
Prinsip ini yang dikembangkan dari Dasasila Bandung mendapat tempat konkrit dalam Kerjasama ASEAN. ASEAN dapat bertahan sampai sekarang bahkan berhasil menjadikan Kawasan ini aman, berbeda dengan Kawasan lain yang tidak hanya tegang tapi terlibat perang. Ini misalnya di Kawasan Timur Tengah tadi, dan di kawasan Asia Timur Dimana Korsel dan sekutunya melawan Korut.
Fondasi HI yang dikembangkan ASEAN adalah tidak menggunakan kekerasan, tidak melakukan campur tangan pada urusan negara lain dan otonomi regional. Hubungan juga didasarkan pada norma-norma sosial-budaya seperti konsultasi dan konsensus serta lebih memilih informalitas daripada mekanisme legalistik. Norma ini tidak hanya sesuatu yang ideal tapi berusaha terus disosialisasikan, dikampanyekan dan diimplementasikan dalam praktek ASEAN.
Kontribusi lain dari Global South ada pengalaman hubungan pada Peradaban besar dunia seperti Tiongkok, India, Islam dan juga Nusantara sebelum penjajahan datang. Nusantara memiliki pengalaman hubungan yang berbeda dari persfektif realisme sekarang ini. Pada saat itu hubungan tanpa batas, tidak anarkis, dalam pengertian bahwa antar Kerajaan sering terjadi perkawinan antara anak-anak raja, pengiriman hadiah dan kadang upeti dikirim ke kerajaan yang lebih kuat.
Dengan kata lain seringkali ada hubungan yang hirarkis sehingga hubungan anarkis tidak terjadi. Ini juga terjadi pada semasa kejayaan Kerajaan Melaka dan pada hubungan Jalur Rempah Nusantara dan Jalur Sutera Tiongkok. Lebih jauh lagi, hubungan dalam peradaban Islam semasa kekhalifahan juga sangat damai dan harmonis. Tetapi kedatangan Penjajah telah merusak tatanan peradaban, hubungan yang tertib itu dan menggantikannya pada hubungan yang bersifat eksploitatif dan dominan.
Sebagai kesimpulan, Prof Eby Hara menyebutkan perlunya membawa kembali pengalaman-pengalaman HI yang terabaikan ini dalam kajian teoritik dan praksis HI. Melihat pengalaman HI dunia yang harmonis pada peradaban-peradaban masa lalu, keadaan dunia yang penuh peperangan, kebencian dan genosida ini sangat ironis dan menyedihkan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa peradaban dunia bukannya mengalami kemajuan tetapi mengalami kemunduran berabad-abad.(*)